Selasa, 08 Juli 2008

Warhol dan Desakralisasi

Sejak seorang seniman homoseksual bernama Andy Warhol memperkenalkan modern pop art dengan kaleng-kaleng kacang dan minuman sebagai objeknya, maka apa yang disebut era modern pop art dimulai.

Dampaknya sampai sekarang bisa dilihat. Tengok saja para remaja pengunjung mall-mall di ibukota. Anda akan mendapati mereka dalam balutan kaus bersablonkan logo “Burger King”, “Starbucks”, sampai cokelat macam “Snickers”. Saat ditanya alasan mereka menjadi serupa dengan papan iklan berjalan tersebut,

mereka berujar singkat, “kausnya keren”.
“Apanya yang keren?”
“Pokoknya keren.”

Padahal, tidak ada keren-kerennya memakai kaus bersablon merek-merek komersial seperti di atas. After all, anda tidak dibayar kan oleh pemilik brand tersebut untuk memakai kaus tersebut. Jadi bayangkan bahagianya para manager lokal mendapati seorang cowok yang memesan Whooper mengenakan kaus bersablon logo “Burger King”.

Pembaharuan seni gaya Warhol mempunyai implikasi lain: desakralisasi. Lihat saja bagaimana kaos dengan potret muka Che Guevara melekat di tubuh so-called anak-anak gaul atau lambang palu arit bersayapnya Aeroflot yang dijadikan logo salah satu tas distro. Juga artwork wajah Mao Zedong yang gemar dipakai oleh mereka-mereka yang sangat mungkin belum pernah mendengar Revolusi Kebudayaan.

Kultur Pop menghipnotis semua orang (baca: remaja dan early 20s) untuk turut berpartisipasi dalam sebuah tradisi: pakailah apa dipakai orang lain, karena menjadi berbeda itu berarti “cupu”, jangan tanya apa arti lambang itu, pokoknya anda terlihat keren.

Sebetulnya definisi dari keren-kerenan menurut budaya pop sungguh lebih kepada bagaimana orang lain menilai apa yang anda pakai (Hey, that’s why they called it Pop). Keren bukan an sich karena anda menilai baju anda keren, tapi karena orang lain mengatakannya demikian.

Kembali kepada masalah desakralisasi. Ini sedemikian parahnya sehingga bisa saja bermodal dreadlocks yang mungkin hasil jahitan, seseorang mengklaim dirinya seorang Rastafarian (padahal kaya katanya Irfan, kalau sakit masih berobat ke dokter. Hihi.).

Salah satu fenomena abad 20, kotak ajaib bernama televisi turut “mensukseskan” proses desakralisasi ini. Apa saja yang nampak di layar kaca, langsung ditiru khalayak ramai. Lucu sekali kalau mengingat bagaimana tiba-tiba setiap siswa SMA merasa dirinya pujangga selepas menonton Ada Apa Dengan Cinta? Buku-buku Chairil Anwar mendadak jadi barang buruan (Padahal buku yang dipakai dalam adegan AADC adalah karangan Sjumandjaja).

Kultur pop acapkali mengingkari makna. Hakikat bisa dilucuti dan digantikan baju baru bernama komersialisasi. Tidak heran anda akan mendapati sepotong kaos Che berharga Rp. 250.000 di Cherokee atau sehelai keffiyeh dengan bandrol lebih dari Rp. 100.000 di Topshop.

Ernesto Guevara dan Yasser Arafat mungkin akan berontak dari dalam kubur bila melihat fakta ini. Ironis.

*Pangeran Siahaan, sir read-a-lot (thx to novy fo remindin'. Hehe.)

6 komentar:

nyxxx mengatakan...

desakralisasi ini perdebatan khas high vs. pop culture sebetulnya.
saya ketawa lebar kalo ngeliatin iklan jalan di kaos itu, uda ngiklan gratis, ko yang bantuin ngiklan musti bayar. ato gmn industri pinter2 nyusupin unsur2 bdy resistensi kya che gt cm utk variasi.
tapi gue si lebi mendukung kalangan Hall, Ganz, dkk di cultural studies dibanding horkheimer, adorno, dkk di frankfurt school.
gue optimis dgn kendaraan yg sm (apalagi internet) bnyk pihak termarjinalisasi bisa angkat suara..pake dreadlock tanpa tau maknanya, ato baju2 che itu btk komunikasi jg, yg mengabadikan perjuangan mrk sendiri. balik lagi sm siapa yg maknain

novy E mengatakan...

bapak gue selalu ketawa kalau ngeliat 'iklan berjalan' itu. kalau dipikir, emang bener juga. pantes perusahaan yang bersangkutan ga ada niat buat nuntut segala produk abal itu atas pembajakan HAKI-nya. toh dia juga diuntungkan tanpa perlu keluar apapun. tapi kalau produk2nya ga abal, gue sendiri tertarik. kenapa? bukannya ikut2an atau keren2an. tapi hanya se-simple bahwa gue doyan sama tampang yang tertera di produk itu. sama halnya kaya make baju dari institusi tempat lo bernaung. jadi kalau gue make kaos dengan logo 'bir bintang', itu artinya gue doyan nge-bir (atau nge-bintang? haha). gue ga akan pake kaos dengan tulisan 'guns n' roses' karena jujur, gue udah lupa sama satupun lagunya.
*kok tumben ga nulis nama, nge?

Anonim mengatakan...

Ran, bukannya kita pake topi new era ya? hahaha. kita korban pop culture dong ya.

hahaha penjimatan barang ternyata juga menggoyah-gamangkan revolusioner sekelas pangeran hahaha...

makanya karena kita menolak disamakan dengan "pemberontakan semu" orang kebanyakan, kita yang "sadar" tidak akan memakai kaos representasi itu, melainkan cukuplah kita tahu isi otak kita jauh melebihi mereka tentang apa yang mereka pakai hahahaha

itu seperti lo liat orang di gigs hiphop berpakaian jersey baseball dan bling2 lengkap ala pdiddy. dibandingin dengan orang yang pakaiannya biasa kaya quatro gitu, kita bisa tau mana yang "benar" mana yang "bukan" kan?

hahaha fasisme jenis ini harusnya dibenarkan karena agaknya penilaijualbarangan sudah mengoyak-ngoyak simbol menjadi barang jual dan menyingkirkan esensi mendalamnya...

Anonim mengatakan...

@novy

udh gue tulis kok... hehe....

@irfan

it's not pop culture man... i aint wearin cap with "NY" or "LA" embroidery coz im from jakarta... it's hiphop...

hip means to know, it's a form of intelligence
hop means the movement, we gotta hop in and doin

Anonim mengatakan...

hahahahaha

itu kaya lo pake dolce gabanna pilih mau pake yang gambar muke che ato gambar lambang A bulet hahahaha

masa revolusioner gitu sihhh hahahaha

Anonim mengatakan...

pange, menurut gue kaos yang ada merek2 makanan itu beberapa emang keren kok designnya... i like warhol.. i like those Ts. asal bahan kaosnya gak abal, dan bahan sablonannya gak murahan. hm, ya gue gak punya sih yang model gitu..terlalu rame..they're not something i would wear, but still, they're pretty much art.. heheh

oh, dan masalah AADC. hahaha. gue pernah bilang hal yang sama kaya yang lo bilang.. tapi itu karena gue ngerasa gue juga termasuk orang yang kaya gitu.. yang jadi sering nulis puisi gara2 suka setengah mati sama puisinya rangga.. :D heheh. idk what you would think but (the poems in) that movie really impressed me.. :P

maaf OOT..