Selasa, 08 Juli 2008

Budaya Massa & Gerakan Perlawanan Post-Noblism

Karena seharusnya kita sendiri yang memilih apa yang baik buat kita…


Pada mulanya semangat pop culture atau budaya massa berangkat dari penolakan masyarakat kelas menengah dan bawah atas seni serta “budaya tinggi” yang dahulu dikuasai hanya oleh sejumlah kalangan yang memegang tampuk kekuasaan berpendidikan tinggi, sekumpulan masyarakat keturunan bangsawan atau sarjana yang menjaga tata etis mereka pada ruang terbatas yang sempit. Tentu Kita bisa bayangkan jaman dulu betapa orang hanya bisa menikmati musik sebatas di ruang tertutup berisikan orkestra yang memainkan simfoni, dimana kebanyakan penikmat kebanyakan hanya menjadi sebatas penikmat. Begitu pula dengan puisi, lagu, tata bicara, teater –bioskopnya orang jaman dulu- dan lain lain.

Beberapa saat kemudian, segera selepas perang dunia kedua dan pertumbuhan industri seni seperti musik, film, dan busana, kaum post-modern menggembor-gemborkan “sekarang udah ga ada bedanya kok budaya tinggi dan budaya rendah” seraya mungkin kalau orang Indonesia berkacak pinggang sambil nunjuk-nunjuk dengan tatapan sinis melecehkan bilang ke orang-orang tinggi itu “hey, sekarang lo udah ga ada apa-apanya, kita bisa kok dapetin sama kaya yang dulu lo lo orang pada dapetin”.

Tapi ya, beberapa saat kemudian, banyak kaum post-modern itu kemudian kembali berduka dan merundungkan muka. Betapa tidak? Setelah mereka –yang suka membongkar-bongkar itu, mungkin TV harus dibongkar biar tau isi sinetron? hahaha- mempelajari tubuh budaya massa secara seksama, muncul banyak permasalahan gagasan atasnya.

Yang menjadi masalah adalah, semangat penolakan itu sendiri agaknya semu belaka. Budaya massa sendiri itu muncul setelah pembernilaijualaan besar-besaran (bahasa gaulnya “komodifikasi” atau commodification) terhadap barang-barang tertentu kepada masyarakat luas dengan tujuan mencari keuntungan. Karena bertujuan mencari untung inilah maka kelompok sasaran yang dicari haruslah dengan jumlah terbanyak. Kelompok sasaran ini tidak lain berasal dari kelas menengah dan kelas pekerja.

Biar banyak orang membeli, tentunya konten dari barang jualan ini harus sebisa mungkin sederhana dan tentunya menarik banyak orang. Contohnya, banyak banget dari kita yang milih nonton film bukan karena ceritanya tapi lebih ke ukuran ganteng-cantiknya bintang pemeran, atau karena seberapa “buka-bukaan“ busana. Dalam lagu, kamu bisa liat gimana lagu semakin “catchy” atau penuh kata-kata / kalimat mudah diingat untuk dinyanyikan ulang dengan aransemen “gitu-gitu aja”. Pokoknya hal-hal yang -meskipun semu dan semata bentukan, namun- tergolong lekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Ditengah hal semu menyejemukan budaya massa itu, ada satu yang menarik perhatian saya… dan mungkin dirasakan sama kamu…

Dari “kegelapan” hingar bingar budaya massa yang dimana semua orang dengar lagu yang itu diganti cepat oleh lagu yang lain oleh artis berbeda -yang isinya sebenarnya gak jauh-jauh amat-, muncul sebuah gerakan perlawanan loh!

“Serius lo?”

yap, gerakan perlawanan ini bisa dibilang sub-budaya, sekalipun kamu gak harus bener-bener apa yang kata band jadul yang semua anak Britpop sejati pasti kenal, The Jam, bilang “going underground” untuk bisa melancarkan perlawanan ini.

Saya namain ini sub-budaya “Post-Gentlemanism” atau bisa juga disebut “Post-Genteelity” untuk membaurkan peran gender perempuan dan laki-laki. Orang-orang yang saya katakan masuk kedalam gerakan budaya baru ini melawan gerakan kebanyakan orang atau mainstream justru dengan mempelajari dan menikmati semua hal yang awalnya berakar dari kebudayaan tinggi, yang tadinya juga hanya bisa diakses oleh aristokrat dan masyarakat tinggi.

Secara garis besar, “gerakan” ini biasa direpresentasikan kelas menengah terdidik yang bisa memperoleh pendidikan tinggi dan merasa tidak puas dengan gejala-gejala “seni” dan “barang” yang menurut masyarakat luas “bernilai tinggi”, namun menurut mereka terlalu dangkal dan membodohi.

Sebagaimana budaya gentleman, neo-nobles mengacu pada perilaku yang sarat khas gentleman di eropa barat, khususnya inggris. Perilaku sifat ini, sebagaimana dengan stereotip gentleman di media massa seperti di film dan literatur, misalnya mendiskusikan bacaan atau topik yang teramat sukar dipahami orang tidak berpendidikan tinggi, perbincangan tentang filsafat dan pengutipan-pengutipan dalam skala berat, serta penggunaan bahasa ketiga sebagai gado-gado dalam percakapan, selain bahasa asli dan inggris.

Selain ciri khas demikian, sub budaya ini juga menemukan orang-orang didalamnya mengerti seni lebih dalam. Namun, ketimbang terjebak pada pemapatan seni semu seperti budaya gentlemen dahulu, para penganut neo-nobles malah berhasil mengasupi dirinya dengan seni “sesungguhnya” dimana konsumsi berarti memilih dari banyak jalur luas, bukan semata apa yang ada disekitar saja.

Ambil contoh penghargaan terhadap seni ini, teman saya yang tergolong kaum post-nobles dan dalam saat yang sama menyenangi musik Hip-Hop bisa menemukan esensi musik Hip-Hop lebih dari bagaimana budaya massa menampilkan Hip-Hop itu sendiri.

Dia berhasil menemukan Hip Hop itu serta narasi besar sejarahnya seperti apa lebih dari apa yang media paparkan definisi “Hip Hop kacang rebus” berlandasan pikiran cepat bisa dijual itu sendiri, misalnya machoisme, sexism, misoginis, pengunjukkan materi dan wanita-wanita berbusana minim bergoyang ngebor inul yang aslinya yaa hanya sekedar bumbu jualan. Teman saya itu memilih

Sifat ini sendiri berangkat dari kesadaran pikiran terdidiknya bahwa budaya massa itu sema dan tidak lain berisi gimmick yang seperti permen karet, disukai karena manis dan bisa segera cepat buang untuk digantikan permen baru lainnya.

Agaknya ciri khas diatas sudah cukup untuk merepresentasikan gerakan post-noblism, sisanya bisa kamu cari sendiri.

Saya yakin beberapa dari kamu mungkin akan tersenyum tertawa kecil berkata “Wah, ini gw banget”, sementara yang lainnya akan terbengong-bengong bertanya-tanya “apaan sih tuh?”.


yaah, gimana dong? Kita kan ga bisa maksa semua orang sadar apa yang mereka lakukan selama ini!

hehehe....


hanya untuk kekecewaan musik ini kupersembahkan...

http:/www.reverbnation.com/serenadaiblis

1 komentar:

nyxxx mengatakan...

seru juga tu mengkaji perlawanan dr postnoblism,
tp blk lagi, org g perlu tau makna buat nyatain bentuk komunikasi tertentu, balik sm yg maknain